Clan iOS | Intelligent Of Slayer

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.

Intelligent Of Slayer


    Pidato Paus Benediktus untuk Universitas La Sapienza, Roma VATIKAN-ITALIA [Roma, 17 Januari 2008]

    Patricius_Kristi_A
    Patricius_Kristi_A
    Administrator Forum
    Administrator Forum


    Jumlah posting : 69
    Points : 1137
    Reputation : 3
    Join date : 08.10.15
    Age : 31
    Lokasi : Tangerang

    Pidato Paus Benediktus untuk Universitas La Sapienza, Roma  VATIKAN-ITALIA  [Roma, 17 Januari 2008] Empty Pidato Paus Benediktus untuk Universitas La Sapienza, Roma VATIKAN-ITALIA [Roma, 17 Januari 2008]

    Post by Patricius_Kristi_A Tue Jan 26, 2016 1:36 am

    Adalah sebuah kegembiraan besar bagi saya untuk bertemu komunitas "La Sapienza - Universitas kota Roma" dalam kesempatan inaugurasi tahun akademik. Selama berabad-abad, universitas ini telah menandakan kemajuan dan hidup dari kota Roma, dengan membawa ke depan kesempurnaan intelektual dalam setiap bidang studi. Baik selama periode saat, setelah didirikan oleh Paus Boniface VIII, institusi ini secara penuh bergantung kepada otoritas Gerejawi, dan setelah ini, saat "Studium Urbis" menjadi sebuah institusi dari negara Italia, komunitas akademik kalian tetap mempertahankan sebuah standard sekolah dan budaya yang sangat tinggi, yang menempatkannya diantara universitas- universitas yang paling prestisius di dunia. Gereja Roma telah selalu memandang dengan kasih dan kekaguman pada pusat universitas ini, mengakui usaha-usahanya yang kadangkala berat dan sulit dalam penelitian dan dalam formasi generasi-generasi baru. Dalam beberapa tahun belakangan, tidak pernah ada kekurangan atas hal-hal signifikan dalam kolaborasi dan dialog. Saya ingin mengingat, khususnya, pertemuan sedunia dari rektor-rektor universitas dalam kesempatan Yubileum Universitas, yang melihat komunitas kalian mengambil tanggung jawab bukan hanya untuk menjadi tuan rumah dan mengatur pertemuan, namun lebih dari itu untuk membuat proposal yang kompleks dan profetik bagi pembangunan sebuah "humanisme baru untuk milenium ketiga". Saya tergerak, pada kesempatan ini, untuk menyampaikan rasa syukur atas undangan yang ditujukan kepada saya untuk datang ke universitas kalian untuk membawakan pidato untuk kalian. Dalam pandangan ini, pertama-tama saya bertanya pada diri sendiri: Apa yang dapat seorang Paus katakan pada kesempatan seperti ini? Dalam ceramah saya di Regensburg, saya tentu saja berbicara sebagai paus, namun saya berbicara terutama dalam diri seorang mantan profesor dari universitas, mencoba menyatukan masa lalu dan masa kini. Namun di universitas "La Sapienza", universitas kuno kota Roma, saya telah diundang sebagai "Uskup kota Roma", sehingga saya harus berbicara dalam kapasitas ini. Tentu saja, "La Sapienza" pernah menjadi universitas para paus, namun kini dia menjadi sebuah universitas yang sekular dengan otonomi yang, berdasarkan atas prinsip-prinsip pendiriannya, telah selalu menjadi bagian dari sifat universitas, yang harus selalu secara eksklusif terikat pada otoritas dan kebenaran. Dalam kebebasannya dari otoritas politik dan Gerejawi, universitas ini menemukan peranannya yang spesial, dan juga dalam masyarakat modern, yang membutuhkan lembaga-lembaga dari sifat mendasar ini.
     
    Saya kembali pada pertanyaan saya yang pertama: Apa yang seorang paus dapat dan harus katakan dalam pertemuan dengan universitas kotanya? Merefleksikan pertanyaan ini, telah terlihat bagi saya bahwa hal itu menyangkut dua pertanyaan selanjutnya, klarifikasi yang mana harus dengan sendirinya memimpin kepada jawabannya. Adalah penting, sesungguhnya, untuk bertanya: Apakah sifat dasar dan misi dari kepausan? Dan lagi: Apakah sifat dasar dan misi dari universitas? Bukanlah maksud saya di sini untuk berulang-ulang mengajari baik kalian atau saya dengan penjelasan-penjelas an panjang tentang sifat dasar kepausan. Sebuah ringkasan seharusnya cukup. Paus, pertama-tama adalah uskup Roma, dan karena itu, dalam kebajikan sebagai penerus apostolik dari Rasul Petrus, ia memiliki otoritas Episkopal dalam keseluruhan Gereja Katolik. Kata "uskup" -episkopos-, yang berarti "pengawasan" , dalam Perjanjian Baru telah bersama menyatu dengan konsep Kitab Suci yaitu sang gembala: ia yang, dari titik pengamatan yang lebih tinggi, mengawasi seluruh kawasan, meyakinkan untuk memelihara kesatuan jemaahnya dan di jalan yang benar.  Penggambaran atas peranan uskup mengarahkan pandangan pertama-tama ke dalam komunitas jemaahnya. Uskup -sang gembala- adalah orang yang menjaga komunitasnya, yang mempersatukannya dengan cara memeliharanya pada jalan kepada Allah, yang ditunjukkan Yesus melalui iman Kristiani- dan Yesus tidak hanya menunjukkan hal ini: IA sendiri adalah jalan bagi kita. Namun komunitas ini yang dijaga oleh sang uskup baik yang besar ataupun yang kecil- hidup di dunia; kondisinya, perjalanannya, contoh hidupnya, dan kata-katanya dengan tak terelakkan memperngaruhi komunitas manusia lainnya dalam keseluruhannya. Semakin besar komunitas ini, semakin besar pula kondisinya yang baik atau kemerosotannya pada akhirnya akan mempengaruhi seluruh umat manusia. Saat ini kita melihat dengan jelas bagaimana situasi berbagai agama dan situasi Gereja -krisis dan pembaharuannya- bertindak terhadap keseluruhan umat manusia. Jadi, paus, tepatnya sebagai sang gembala dari komunitasnya, telah naik menjadi sebuah suara dari pemikiran umat manusia yang layak.
     
    Namun di sini segera terjadi penolakkan menurut apa yang sebenarnya tidak dikatakan sungguh-sungguh oleh paus berdasarkan pemikiran yang layak, namun sebaliknya menarik penilaian-penilaian nya dari iman, dan oleh karena itu ia tidak dapat menuntut hal ini berlaku bagi mereka yang tidak berbagi iman ini. Kita harus kembali kepada argumen ini nanti, karena menampilkan pertanyaan yang sangat mendasar: Apakah pemikiran (akal budi)? Bagaimana sebuah pernyataan yang tegas, sebuah tuntutan dapat  -dan terutama sebuah norma moral- menunjukkan sebuah "pemikiran". Pada titik ini, saya ingin mencatat sedikit bahwa John Rawls, sementara ia menyangkal bahwa doktrin-doktrin keagamaan seluruhnya memiliki karakter pemikiran "publik", namun ia juga melihat dalam pemikiran yang "bukan publik" sebagai paling tidak suatu pemikiran yang tidak dapat dihilangkan begitu saja oleh mereka yang mendukung sebuah rasionalitas sekular garis keras. Ia melihat sebuah kriteria dari pemikiran yang masuk akal ini terutama dalam kenyataan bahwa doktrin-doktrin itu datang dari sebuah tradisi yang berdasar bagus dan yang bertanggungjawab. Sangat penting bagi saya bahwa pernyataan ini mengakui bahwa pengalaman dan penggambaran atas rangkaian generasi, kejatuhan sejarah kearifan manusia, adalah juga sebuah tanda dari kepemikiran mereka dan pangartian panjang mereka. Di hadapan sebuah bentuk sejarah dari pemikiran yang mencoba membangun dirinya sendiri dalam sebuah rasionalitas sejarah yang eksklusif, kearifan manusia seperti itu -kearifan dari tradisi-tradisi agama yang besar- harus dipandang sebagai sebuah realitas yang tidak dapat dihilangkan dengan kebabasan dari hukuman ke dalam kantong sampah dari sejarah ide-ide.
     
    Marilah kembali kepada pertanyaan pembukaan. Paus berbicara sebagai wakil dari sebuah komunitas jemaahnya, di mana selama berabad-abad kehadirannya, sebuah kearifan hidup yang spesifik telah matang; ia berbicara sebagai wakil dari sebuah komunitas yang memelihara dalam dirinya sebuah harta akan pengertian dan pengalaman yang layak, yang penting bagi seluruh umat manusia. Dalam pemahaman ini, ia berbicara sebagai wakil dari sebuah bentuk pemikiran yang layak.

    Tetapi sekarang kita harus bertanya pada diri kita sendiri: Apakah sebuah universitas? Apakah tujuannya? Ini adalah pertanyaan yang besar yang dapat saya jawab sekali lagi dalam cara yang hampir telegrafis dengan hanya membuat beberapa pengamatan. Saya percaya bahwa dapat dikatakan bahwa keaslian mendalam yang benar dari universitas terletak pada kebutuhan manusia akan ilmu pengetahuan.  Ia ingin mengetahui apa yang ada disekelilingnya.
    Dalam hal ini pertanyaan Sokrates adalah denyut nadi yang melahirkan universitas Barat. Saya berpikir untuk menyebutkan satu teks, sebuah perkara, yang menyebabkan Euthyphro, yang membela agama mistik dan devosinya itu, melawan Sokrates.
    Sebaliknya Sokrates bertanya kepada Euthyphro: "engkau percaya, bahwa ada perang antara dewa-dewa, juga permusuhan dan perkelahian. ... haruskah kita bilang bahwa itu semua benar?" (Euthyphro, 6: b dan c). Dari pertanyaan ini Sokarates yang kelihatan tidak sopan, tidak saleh, tetapi sesungguhnya muncul dari kesalehan Sokrates yang dalam, orang-orang Kristiani abad pertama telah mengenal diri dan jalan mereka. Mereka tidak menerima iman mereka secara positivistis, bukan sebagai sebuah jalan keluar dari keinginan-keinginan yang tak terpenuhi, melainkan sebagai sebuah jalan tembus dari kabut agama mitologis menuju Allah, Ratio pencipta dan sekaligus Ratio yang adalah cinta.
    Karena itu pertanyaan Ratio akan  Allah yang lebih besar dan tentang apa manusia sebenarnya, bagi mereka (Gereja) bukanlah bentuk ketidaksalehan melainkan termasuk dalam hakekat dari cara kesalehan itu. Mereka (Gereja jaman abad pertama) karenanya tidak perlu membuang pertanyaan macam ini atau mengesampingkannya, melainkan boleh bahkan harus menerimanya dan mengakui pergumulan Rasio untuk memperoleh pengetahuan akan seluruh kebenraan sebagai bagian dari identitasnya. Maka mestilah dalam ruang iman kristiani, dalam dunia Kristiani, universitas muncul. Kita harusmengambil langkah lainnya. Orang ingin tahu; ia menginginkan kebenaran. Kebenaran merupakan yang pertama-tama dan yang terpenting untuk melihat dan memahami teori seperti yang ada dalam tradisi Yunani. Tapi kebenaran bukan hanya sebuah teori. Santo Agustinus menegaskan hubungan timbal-balik antara ilmu pengetahuan dan kebenaran. Baginya hanya mengetahui adalah sumber kesedihan. Bahkan mereka yang hanya melihat dan mengetahui semua yang terjadi di dunia berakhir dengan kesedihan. Tapi kebenaran berarti lebih daripada ilmu. Tujuan untuk mengetahui kebenaran adalah untuk mengetahui apa yang baik. Ini juga makna dari pertanyaan Sokrates: Hal baik apa yang membuat kita benar?
    Kebenaran menjadikan kita baik dan kebaikan adalah benar. Ini optimisme yang hidup dalam iman Kristiani, karena dia sang Logos, Rasio pencipta telah menjadi jelas, yang sendiri dalam penjelmaan Allah telah menunjukkan dirinya sebagai Yang Baik.
     
    Dalam teologi abad pertengahan ada sebuah perkara seputar hubungan antara teori dan praktek, seputar hubungan antara ilmu dan tindakan, sebuah perkara yang tidak harus kita bahas di sini. Mari kita mulai dengan kedokteran, fakultas urutan ke empat menurut pemahaman saat itu. Meski dilihat lebih sebagai suatu "seni" daripada sebuah ilmu, pencantumannya dalam dunia universitas mengartikannya sebagai kepunyaan dari rasionalitas.
    Seni menyembuhkan dilihat sebagai sesuatu yang dibimbing oleh rasio dan oleh karena itu melampaui sihir. Menyembuhkan adalah sebuah tugas yang selalu membutuhkan lebih dari rasio sederhana tapi tepatnya untuk rasio ini dibutuhkan koneksi antara ilmu dan kekuasaan dan harus berada dalam alam rasio. Tak terelakkan dalam fakultas hukum hubungan antara praktek dan teori, antara mengetahui dan mengambil langkah terdepan karena menyangkut memberikan kebebasan manusia, bentuknya yang benar yang selalu merupakan kebebasan dalam persatuan timbal-balik.  Hukum adalah landasan dimana kebebasan dibangun. Namun ini menimbulkan pertanyaan lain. Bagaimana kita dapat menentukan apakah standar keadilan, yang membuat kebebasan sebagai bagian dari seluruh kemungkinan dan memberikan kebaikan umat manusia?
    Mari kita kembali ke masa kini. Bagaimana kita dapat menemukan peraturan-peraturan hukum yang dapat memimpin kebebasan, martabat manusia dan hak-hak manusia. Isu ini berhubungan dengan proses demokrasi yang membentuk opini-opini tapi juga yang dapat
    membebaskan kita sejauh hubungannya dengan masa depan umat manusia. Jürgen Habermas melemparkan pandangan, yang diterima secara luas dalam ide-ide saat ini, di mana kelayakkan sebuah konstitusi sebagai dasar untuk apa yang legal didasarkan dari dua sumber: keikusertaan yang sama dari seluruh warga dalam proses politik dan mekanisme penyelesaian konflik yang masuk akal dalam politik.
    Dalam hal mekamisme yang berasio ia mengatakan isu itu tidak dapat diartikan hanya sebagai pergulatan untuk siapa yang mendapatkan suara yang lebih banyak namun harus berarti sebuah "proses dari argumentasi yang responsif kepada kebenaran". Ini teori yang benar namun sulit untuk dipraktekkan. Respon terhadap kebenaran selalu menjadi yang terbelakang bagi keinginan partisan. Bagi saya Habermas harus mengatakan bahwa respon terhadap kebenaran adalah sebuah komponen yang perlu bagi argumentasi politik, karena memperkenalkan kembali konsep dari kebenaran dalam debat-debat filosofi dan politik.
    Pertanyaan Pilatus tak terelakkan: Apakah kebenaran? Bagaimana kita mengenalinya? Jika kita melihat "rasio publik", pertanyaan lain timbul: Apakah kelayakkan?  Bagaimana sebuah rasio terbukti menjadi rasio yang layak? Dalam kehidupan universitas abad pertengahan, bersamaan dengan hukum, ada juga fakultas filosofi dan teologi   dengan tugas mempelajari kemanusiaan dalam totalitasnya dan menghidupkan respon terhadap kebenaran. Orang dapat berkata ini adalah arti yang sesungguhnya dan berat dari kedua fakultas -mereka menjaga respon terhadap kebenaran dan menghindarkan orang untuk tidak buyar dalam meraih kebenaran. Bagaimana mereka dapat melakukan ini? Ini adalah pertanyaan yang harus kita kerjakan dan yang tidak dapat diangkat dan dijawab sekaligus. Pada tahap ini bahkan sayapun tidak dapat memberikan jawaban. Namun saya dapat mengundang kalian untuk tetap mempertanyakannya, orang yang merangkul semua pemikir besar dalam sejarah, muncul dengan jawabannya sendiri dan memikul ketakutannya sendiri, selalu melampaui jawaban orang lain.
     
    Teologi dan filosofi adalah pasangan yang aneh; mereka tidak dapat saling dipisahkan, bahkan keduanya harus menjaga tujuan dan identitas mereka. Santo Thomas Aquinas menampilkan otonomi filosofi sebagaimana hukum. Ia menampilkan tanggungjawab dari rasio saat mempertanyakan dirinya atas dasar kekuatannya sendiri. Tidak seperti ide-ide neo-platonis yang melihat agama dan filosofi tak terpisahkan, para Bapa Gereja telah menunjukkan iman Kristiani sebagai filosofi yang benar, menegaskan bahwa iman ini korespon terhadap kebutuhan Rasio dalam meraih kebenaran, yaitu sebuah iman yang adalah sebuah "Ya" kepada kebenaran saat dibandingkan dengan agama-agama mistik yang telah berakhir sebagai kebiasaan saja. Namun demikian, saat universitas- universitas dibangun di dunia Barat agama-agama itu tidak ada lagi - hanya Kristianitas yang ada. Ini berarti menampilkan dalam cara yang baru tanggungjawab dari sebuah rasio, yang tidak ditangkap oleh iman. Thomas hidup di masa itu. Untuk pertama kalinya tulisan-tulisan filosofis Aristotel tersedia sama halnya dengan teks Yahudi dan Arab yang memperluas filosofi Yunani. Sebagaimana Kristianitas berinteraksi dengan yang lain dan mengaitkan rasio mereka dalam sebuah dialog baru ia harus berjuang bagi kelayakannya.
     
    Fakultas Filosofi , sebagai contoh, yang dinamakan fakultas para seniman, saat itu masih sebagai sebuah tingkat persiapan sebelum masuk ke teologi. Kemudian menjadi sebuah fakultas sendiri, sebuah partner otonomi bagi teologi dan iman yang terefleksi. Ide Santo Thomas tentang hubungan antara filosofi dan teologi dapat digambarkan dengan formula yang diberikan oleh Konsili Chalcedon tentang Kristologi, menyebutkan bahwa filosofi dan teologi harus saling berhubungan "tanpa kebingungan dan tanpa perpisahan". "Tanpa kebingungan" dimaksudkan dalam arti bahwa masing-masing akan menjaga identitasnya sehingga filosofi adalah sungguh-sungguh sebuah penelitian yang bebas dan bertanggungjawab akan rasio dan sadar akan keterbatasannya dan akan kebesaran dan keleluasaannya. Teologi sebaliknya harus terus menarik diri dari sumber ilmu pengetahuan yang tidak ditemukannya dan yang selalu lebih besar darinya, dan yang selalu memperbaharui proses berpikir karena tidak pernah lelah oleh refleksi. "Tanpa kebingungan" tidak berdiri sendiri karena ada "tanpa perpisahan", itulah ide bahwa filosofi adalah bagian dari dialog besar yang ditemukan dalam ilmu terakumulasi yang telah diwariskan oleh sejarah dan yang selalu diterima dan dibangun secara kritis namun tanpa perlawanan. Namun tidak boleh keluar dari yang agama-agama, terutama iman Kristiani, telah terima dan berikan kepada manusia sebagai sebuah tanda bagi jalan yang ditempuh. Tentu saja sejarah telah menunjukkan bahwa banyak hal yang telah dikatakan oleh para teolog sejalan dengan waktu atau yang telah dipraktekkan oleh otoritas Gereja telah dibuktikan palsu dan sekarang membingungkan kita.
    Tetapi juga benar bahwa sejarah dari para orang kudus dan sejarah dari kemanusiaan yang telah dibangun berdasarkan iman Kristiani adalah bukti atas kebenaran dari iman ini dalam intinya yang esensial yang dibutuhkan oleh rasio publik. Apa yang dikatakan oleh teologi dan iman hanya dapat dilihat dalam iman dan sebaliknya tidak sebagai sebuah kebutuhan bagi mereka kepada siapa iman ini tetap tidak dapat diraih. Pesan dari iman Kristiani tidak pernah hanya sebagai "doktrin agama yang dimengerti", namun sebaliknya sebuah kekuatan yang memurnikan rasio sendiri, kemudian membantunya menjadi rasio sendiri. Pesan Kristiani harus selalu mendorong pencarian akan kebenaran dan menjadi sebuah kekuatan terhadap tekanan-tekanan oleh kekuasaan dan kepentingan- kepentingan.
     
    Baiklah, sejauh ini saya hanya berbicara tentang universitas di Abad Pertengahan, mencoba menunjukkan sifatnya dan  tujuannya yang tetap sama. Dalam dunia modern ilmu telah menjadi lebih dari berbagai segi, terutama dalam dua bidang besar yang ada di universitas. Yang pertama, ada ilmu alam yang telah membangun rasionalitas atas dasar percobaan. Yang kedua, ada ilmu sosial dan kemanusiaan dalam mana orang berusaha memahami dirinya dengan melihat sejarahnya dan membuka sifatnya sendiri. Kemanusiaan bukan hanya memerlukan sebuah ilmu yang besar dan kekuasaan tapi juga sebuah pemahaman dan pengakuan atas hak-hak dan martabat manusia. Tapi perjalanan manusia tidak berakhir dan bahaya untuk jatuh ke dalam ketidakperikemanusi aan tidak pernah hilang seperti yang kita lihat dalam sejarah saat ini. Bahaya yang dihadapi oleh dunia Barat, adalah manusia, yang memiliki ilmu dan kekuasaan yang besar, dapat putus asa atas pertanyaan tentang kebenaran. Ini berarti rasio pada akhirnya dapat tunduk pada tekanan-tekanan kepentingan- kepentingan partisan dan nilai instrumental, dipaksa untuk mengakuinya sebagai standar terakhir. Dalam pandangan dunia akademis, ini berarti ada bahaya yang filosofi, merasa tak mampu menjalankan tugasnya, dapat memburuk menjadi positivisme, sebuah bahaya yang teologi dan pesan yang dimilikinya untuk rasio dapat menjadi milik pribadi dari sebuah kelompok yang besar.
     
    Lalu kembali ke pertanyaan awal.  Apa yang harus dikatakan Paus pada universitas? Tentu dia tidak boleh berusaha seturut kekuasaan autoritasnya untuk mendesak orang lain untuk sampai kepada iman, yang cuma merupakan anugerah. Di luar tugas kegembalaannya dan atas dasar hakekat tugas kembalaan ini, tanggungjawabnya adalah, untuk menjaga agar sensibilitas akan kebenaran tetap terjaga. Ia harus mengundang terus rasio untuk terus
    mencari Yang Benar, yang baik, mencari Allah, dan dalam jalan ini mendorongnya untuk melihat cahaya-cahaya penolong yang dalam sejarah iman Kristiani telah ada dan dalam kaitan itu juga menanggapi Kristus sebagai cahaya, yang menerangi sejarah dan dan membantu orang menemukan jalan menuju masa depan.

    Sumber : disini

      Waktu sekarang Fri May 10, 2024 7:29 am